Skip to main content

πŸ“‘ JASA DAN KEBAIKAN YANG TERLUPAKAN πŸ₯€πŸ₯€

Jasa dan Kebaikan yang TerlupakanπŸ₯€πŸ₯€

Oleh : Elma Saskya

Medan, 07 Mei 2023


Dalam hidup yang sekiranya singkat ini, apakah kau masih ingin menghabiskan sisa waktumu untuk menyia-nyiakan keberadaannya atau memutuskan untuk mencintainya selamanya? 

Keberadaan seseorang yang dengan tulusnya mengucap janji suci denganmu. Orang yang telah memilihmu untuk menghabiskan sisa waktunya bersamamu, entah itu 60 tahun lagi, 20 tahun lagi, atau bahkan 1 hari lagi. Dia yang telah menyerahkan seluruh sisa hidupnya untuk mendampingimu. Bahkan dia rela jika harus lebih memilih dirimu dibanding orang yang telah membesarkannya. Orang yang selalu menemani tidurmu, mendengarkan keluh kesahmu, hingga bahagia dan menua bersamamu. Orang yang dengannya telah berpindah nafkah atasmu dari ayahmu. Orang yang selalu mengusahakan kebahagiaanmu di atas kebahagiaannya. 

Sanggupkah kau jika harus kehilangannya? Sanggupkah kau mengatakan benci kepadanya setelah bertahun-tahun kau menghabiskan waktu bersamanya? Sanggupkah kau untuk tidak melihat wajah lelah dan bahagianya? Jujur, jika kau bertanya kepadaku. Aku tak kan sanggup. Tapi faktanya, banyak terjadi bahwa seorang istri akan dengan teganya mengatakan benci kepada suaminya sendiri setelah kehadiran buah cinta mereka. Mengorbankan suaminya sendiri untuk kasih sayang semu dan tidak bijaksana yang dia berikan untuk keluarganya.

Dalam kehidupan rumah tangga, tak dapat dipungkiri bahwa terkadang ada banyak hal yang bisa menyebabkan kurangnya frekuensi cinta kepada pasangan kita. Gairah dan hasrat yang dulunya selalu ingin bersama, kini seakan berkurang seiring waktu berjalan. Bahkan ada yang lebih memilih berpisah saja daripada harus menghabiskan waktu bersamanya. Baik itu berpisah secara cerai resmi, atau pun berpisah hanya dalam hal ranjang. Menuanya usia terkadang tidak menambah kebijaksanaan kita dalam mencintai pasangan kita. 

Banyak faktor yang bisa menyebabkan hal ini terjadi, tapi dalam hal ini kita hanya berfokus kepada 2 faktor utama yaitu faktor ekonomi dan faktor anak. 

Dulu ketika kita masih hidup berdua, semuanya terasa cukup. Baik itu sandang, pangan dan papan. Bahkan terkadang kita rela dan merasa baik-baik saja jika harus hidup sederhana dengan pasangan kita. Walaupun kita harus hidup dalam rumah ‘sepetak’ istilahnya, atau hidup dalam keadaan menyewa, dan bahkan pintu kamar mandi pun kita tak punya. Semua itu terasa seperti tidak ada apa-apanya, yang paling penting kita punya suami yang menyayangi kita saja itu sudah cukup bagi kita. Sudah cukup bagi kita untuk menjalani hidup bersamanya. 

Saat pertama sekali kita menikah, kita akan tahan mendengar pembicaraannya selama berjam-jam lamanya, entah itu tentang pembicaraan rumah tangga yang serius atau bahkan hanya sekedar saling bercanda, kita akan betah mendengarkannya hingga terkadang kita pun nyaris tertidur saat berbincang dengannya. Tapi justru momen seperti inilah yang paling kita tunggu-tunggu karena kita bisa menikmati waktu berdua dengan santai bersama suami kita. 

Saat hari besar telah tiba, dimana kita harus berkumpul bersama keluarga kita baik itu dari pihak kita atau pun dari pihak dirinya. Sebuah momen yang membuat kita sebenarnya merasa tak nyaman untuk berkumpul, karena terkadang pasti akan ada pembicaraan yang membuat kita tak nyaman atau membuat tersinggung. Momen yang paling sangat dihindari sebisa mungkin, tapi kita berhasil melewatinya dengan lancar dan merasa aman karena ada dia, suami kita yang bersedia mendukung kita dengan segala statement dan treatment yang dia lakukan untuk kita. Hingga perasaan terkucilkan itu tak lagi muncul karena adanya dirinya di samping kita. Justru ketika dia tak ada bersama kita, malah membuat perasaan kita bergejolak dan tak ingin rasanya berlama-lama di tempat yang tak ada dirinya itu, walau pun tempat itu adalah rumah kita sendiri. Rumah yang menjadi saksi bisu masa kecil kita bersama keluarga kita. 

Tapi semua momen kebersamaan dan kebahagiaan yang dulunya bisa tercipta dengan baik itu ternyata bisa hilang dan bahkan harus dihilangkan karena dua faktor yang telah disebutkan di atas. Faktor ekonomi dan faktor kehadiran sang anak, hasil buah cinta kita bersama suami kita. 

Seiring waktu perasaan mulai berubah karena kebutuhan juga mulai berubah. Beras yang dulunya cukup 1 mug berdua untuk dimakan sehari, kini harus bertambah minimal menjadi 4 mug sehari karena adanya anak-anak kita. Rumah sederhana yang kita miliki yang dulunya menjadi tempat terbahagia untuk kita dan pasangan kita, kini harus dirombak menyesuaikan kondisi, gaya dan keinginan anak-anak kita, yang justru melunturkan semangat kasih sayang di dalamnya. Perbincangan hangat yang biasanya bisa kita lakukan berjam-jam bersamanya dulu, kini untuk duduk berdua selama 5 menit saja pun rasanya kita sudah tak sanggup. Bahkan adu mulut pun lebih sering terjadi daripada bersenda gurau, bercanda tawa bersama. Dalam hari-hari besar tertentu, yang harusnya tidak masalah untuk tidak memakai pakaian baru atau kendaraan baru, kini justru kita akan merasa malu jika tidak memiliki semua itu. Karena apa? Karena kita ingin memenuhi pandangan orang lain terhadap diri kita, bahkan termasuk memenuhi pandangan dan keinginan anak-anak kita sendiri. 

Bahkan yang paling sedihnya adalah, kita rela menghabiskan uang hasil jerih payah suami kita yang seharusnya untuk memenuhi kebutuhan primer keluarga, tapi malah kita habiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan sekunder anak-anak kita dan bahkan menghabiskannya untuk keinginan-keinginan saudara-saudara kita. 

Contoh di kala uang 200 ribu yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan makan keluarga selama 2 atau 3 hari lamanya, justru bisa kandas dalam waktu 1 menit hanya karena anak kita merengek mengatakan tidak punya uang untuk membeli bensin mobilnya padahal dia sudah jauh-jauh datang untuk berkunjung melihat orangtuanya. Akhirnya uang yang ada itu pun kita berikan kepada anak kita, karena merasa tak enak dengannya. Karena ingin bertemu kita orangtuanya, malah membuatnya tak punya uang. 

Contoh kedua, sang anak membeli mobil dengan alasan ingin membahagiakan orangtua. Dengan adanya mobil, mereka akan bisa mengajak orangtuanya untuk jalan-jalan ke suatu tempat, misalnya berwisata atau pun makan di restoran. Dengan muatan mobil yang mencukupi membawa lebih dari 3 orang, akhirnya saudara tadi pun ingin ikut juga bersama kita. Menikmati rasanya berwisata bersama keluarga. Sepintas, anak tersebut terlihat seperti anak yang berbakti karena membahagiakan orangtuanya. Tapi pada kenyataannya, justru dalam pengajakannya anak itu tersirat bahwa orangtuanyalah yang harus membayar semua kebutuhan dan pengeluaran yang terjadi akibat jalan-jalan tersebut. Mulai dari uang minyak, cicilan mobil, bayar tol, tiket masuk tempat wisata, makan di restoran, dan lain-lain. Dimanfaatkan anak tersebut perasaan kasih sayang dan ketidak enakan orangtua itu, untuk dijadikannya sebagai donatur dalam memenuhi keinginan sang anak, saudara bahkan cucu-cucunya. Akhirnya uang ayah atau suami jugalah yang harus habis karena perasaan sayang sang istri yang berlebihan terhadap sang anak. 

Contoh ketiga, dengan kondisi keuangan yang pas-pasan yang harusnya hanya bisa mencukupi kebutuhan keluarga dalam hal ini istri dan anak-anak sendiri, tapi justru harus dipaksa untuk memenuhi kebutuhan keluarga orang lain juga. Dimana sang istri, tanpa sadar akan mengundang kemanakan, adik-adiknya atau pun anak cucu menantu untuk tinggal bersama mereka tanpa memikirkan kondisi dan kemampuan suaminya sendiri. Kondisi tenaga dan keuangan yang harusnya hanya bisa mencukupi untuk 5 orang saja, kini dipaksa harus bisa mencukupi sampai 10 orang.

Semua kebutuhan-kebutuhan tak terduga dan tidak urgensial seperti yang disebutkan di atas adalah contoh-contoh kebutuhan yang menyulitkan diri kita sendiri. Kesulitan yang diciptakan sendiri oleh anak-anak kita karena hidup hedonia, membeli mobil atau pun rumah, padahal dia sendiri belum mampu untuk memiliki semua itu justru menjadi beban yang harus dipikul oleh orangtuanya. Kasih sayang kita yang terlalu berlebihan terhadap anak, cucu, kemanakan dan saudara-saudara kandung kita membuat kita harus mengorbankan suami kita untuk memenuhi kasih sayang kita itu. Kasih sayang yang tergolong cinta buta. Kasih sayang yang tak tepat sasaran. Kasih sayang yang tak bijaksana. 

Inilah yang menjadi salah satu faktor utama yang membuat seorang istri melupakan jasa sang suami. Suami yang pada dasarnya telah berjasa untuk memberikan penghidupan untuk keluarganya, malah dianggap tidak berkontribusi apa-apa. Semua pengorbanan yang dia lakukan untuk anak dan istrinya itu, dianggap tak berarti. Suami yang rela bekerja siang dan malam, mengorbankan kesehatan fisik dan mental demi memenuhi kasih sayang istri yang tak tepat sasaran itu, justru itu tidak akan berguna dan dilupakan begitu saja jika sang suami tak mampu memenuhi keinginan istrinya itu lagi. 

Satu kata yang menjadi senjata andalan bagi sang istri dan anak-anak untuk tidak menghormati dan melawan terhadap suami atau ayah mereka yaitu “ITU KAN MEMANG KEWAJIBAN SUAMI ATAU AYAH UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN KELUARGANYA”. Satu kata “KEWAJIBAN”. 

Memang benar itu kewajiban seorang suami untuk menafkahi anak dan istrinya, tapi nafkah yang bagaimana? Apakah dia juga harus menafkahi kasih sayang yang tak tepat sasaran itu?! Apakah dia juga harus membayar semua kesulitan dan kesusahan yang diciptakan oleh anaknya sendiri itu?! Atau dia juga harus menafkahi anak orang lain yang sebenarnya memiliki orangtua sendiri hanya karena alasan dia adalah kemanakan kita?! Apakah kewajiban yang seperti itu yang harus dipenuhi?!!! 

Kewajiban yang membuat suami kita harus rela mati muda demi memenuhi keinginan dan keegoisan istri tercintanya. 

Bahkan yang lebih ironi dan mirisnya lagi, ketika suami sudah tak mampu untuk bekerja menafkahi keluarganya karena kondisi kesehatan fisik dan mentalnya yang menurun secara drastis. Dan seharusnya di saat seperti inilah dia sangat membutuhkan dukungan dari keluarga yang selalu dia bela dan prioritaskan itu, bahkan dia rela mengorbankan dirinya, mengenyampingkan egonya dan kasih sayang keluarga kandungnya sendiri, demi mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Tapi justru orang yang dia pertahankan dan dia bela selama sisa umurnya itu malah mulai menunjukkan sifat aslinya. 

Ketaatan dan kepatuhan semu yang ditunjukkan oleh anak dan istrinya dulu kini mulai terbongkar wujud aslinya. Pembangkangan dan kata-kata kasar pun mulai muncul di permukaan. Hingga membuat dirinya kehilangan kata-kata dan pertahanan diri lagi untuk menyokong tubuhnya sendiri. 

Tubuh yang mulai sakit-sakitan, renta dan tak mampu bekerja lagi dianggap sebagai sebuah beban yang harus dienyahkan dalam kehidupan keluarga. Dianggap kesakitan yang dialaminya itu, semuanya adalah kebohongan dan kepalsuan. Berbagai makian dan umpatan pun sering dilontarkan seperti: 

“Halah dasar pemalas, pura-pura sakit!! Bilang saja tak mau kerja. Bilang saja kalau selama ini kau tak ikhlas menafkahi kami!!” 

“Kerjamu hanya berhutang saja!!” 

“Kerja sana!! Jangan jadi benalu disini!!” 

“Benci kali aku kalau ngelihat bapak kalian ini!!” 

Hingga yang paling terparah adalah “Mati saja kau sana!! Kalau hidup pun sudah tak ada gunanya!!”. 

Tidak cukup hanya umpatan dan makian saja yang dilontarkan, tindakan-tindakan kasar pun siap dilayangkan demi bisa mengaktifkan kembali MESIN ATM BERJALAN MEREKA. 

Suami atau ayah yang dulunya bekerja untuk menghasilkan sesuap nasi untuk keluarganya, kini malah sepiring nasi itulah yang dilemparkan dengan keras oleh keluarganya ke wajahnya. Wajah yang dulu selalu mengulas senyum walau hatinya tengah gundah dan lelah sehabis bekerja, tapi demi anak-anak dan istrinya dia masih bisa tersenyum agar hati mereka selalu tenang dan tenteram. Tapi justru di wajah itu pula, nasi melayang kepadanya. “Kerjamu hanya bisa makan saja!!”

Kopi atau teh yang dulunya sudah tersaji di atas meja saat dia akan berangkat kerja dulu, kini sudah tidak ada lagi. Bahkan ketika dirinya ingin menyeduh kopi atau tehnya sendiri, justru kompor gas yang digunakan untuk memasak air pun dicabut begitu saja. Dengan alasan “Bapak kan sudah tak mampu lagi beli gas!”, “Makanya kerja!! Jadi bisa bayar gas untuk buat kopi!!”

Pukulan-pukulan dan teriakan-teriakan menyakitkan pun mampir di tubuhnya yang tak bertenaga itu lagi. Di tengah-tengah dirinya duduk untuk menghimpun tenaga, justru sapu melayang memukul tubuhnya. Layaknya seekor sapi perah, yang mesti dipukul dulu baru bisa berjalan. Begitulah seorang istri memperlakukan suaminya sendiri yang sudah tak mampu menafkahinya lagi. 

Hutang-hutang yang terpaksa dia lakukan demi memenuhi kebutuhan keluarganya yang out of the budget, besar pasak daripada tiang. Dianggap hutang itu adalah untuk dirinya seorang. Untuk memenuhi keegoisan suaminya saja. 

Karena hutang tersebut, anak dan istri merasa terbebani karena takut sang ayah atau suami tak bisa membayarnya, sehingga merekalah yang nantinya juga harus ikut membayarnya. Bahkan mereka tak bisa enak tidur karena memikirkan hutang tersebut. Padahal, yang lebih tak bisa tidur adalah ayah atau suaminya sendiri karena memikirkan bagaimana nasib keluarganya nanti jika dia tak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya. Pikirannya tak pernah tenang dimana pun dia berada. Baik di tempat kerjanya atau pun di rumah. Jika dia memaksa dirinya untuk tetap bekerja, maka kesakitan di tubuhnya akan semakin bertambah dan dia sudah tak mampu lagi untuk beraktifitas seperti biasanya. Akibatnya kinerjanya menurun, gaji pun tak bertambah bahkan minus akibat dipotong terus karena kasbon atau karena absennya. Jika dia di rumah saja, maka kondisi yang diceritakan sebelumnyalah yang akan terjadi. 

Lantas siapa sekarang yang egois?!

Jika tetap hidup, maka hidupnya akan seperti makan buah simalakama. Apakah lebih baik dia mati saja?

Inilah sebabnya, banyaknya janda daripada duda. Banyak suami-suami yang mengalami mati muda karena keegoisan istri dan anak-anaknya. Mereka sudah tak sanggup lagi jika harus hidup menderita dan menderitakan keluarganya tercinta. Biarlah hingga akhir, dia harus mengorbankan kehidupannya asal anak dan istrinya hidup bahagia walau pun tanpa dirinya. 

Seorang suami yang dulunya gagah dan lantang saat berbicara, kini terlihat loyo dan lebih memilih diam dan sendirian menyimpan semua luka yang ditorehkan oleh keluarga yang dicintainya. 

Bahkan kini sang suami atau ayah dari anak-anak kita itu sudah terbujur kaku, dingin, sunyi tidak bersuara lagi dan deru nafasnya pun telah hilang untuk selamanya. Hingga akhir pun dia tetap mengikuti ucapan keluarganya yang mengatakan “Lebih baik mati daripada hidup tak ada kontribusinya lagi!”. Ya, dia lebih memilih mati. Mati adalah jalan terakhir yang dimilikinya yang bisa dia berikan untuk keluarganya. 

Sungguh miris nasib para suami yang memiliki istri dan anak yang seperti ini! Apakah karena salah memilih jodoh?! Entahlah, tak ada yang bisa disalahkan! 

Pertanyaanku, apakah kau lebih memilih menjalani rumah tangga yang seperti ini? Melupakan jasa suami sendiri demi kasih sayangmu yang tak berarti?! 

Jadilah para istri dan ibu yang bijaksana bagi anak-anak kita. Ajarkanlah mereka kasih sayang dan penghargaan terhadap ayah dan ibunya. Ajarkanlah mereka untuk bisa menjalani kehidupan sesuai kemampuan mereka, sehingga tidak akan menyusahkan orang lain dan keluarganya. Ajarkanlah mereka untuk tidak memihak antara ibu dan ayah jika terjadi masalah. Ajarkanlah kepada mereka bahwa uang yang didapatkan dan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka adalah uang ayahmu dan ibumu, bukan hanya uang dari salah satu diantara keduanya. Ajarkanlah mereka untuk selalu peka dengan kondisi orangtuanya. Tegar dan tidak egois dalam menjalani kehidupannya. Ajarkan mereka untuk tidak perlu mengeluh atau pun mengadu kesusahan yang mereka buat sendiri kepada orangtuanya, sehingga dapat membuat orangtuanya lemah dan jatuh sakit karena keluhan mereka. Ajarkanlah mereka untuk hidup mandiri dan saling menyayangi. Ajarkanlah mereka untuk tahu berterima kasih, karena tahu terima kasih adalah ajaran yang paling tertinggi dalam hal etika. Ajarkanlah mereka kebaikan yang tulus dan bicara yang lembut kepada orangtua, saudara mau pun orang lain. Karena luka akibat pedang dapat diobati, tapi jika karena lidah kemana obat hendak dicari. 

Keduanya adalah orang yang berjasa dalam kehidupan ini. Suami, istri, ayah, ibu adalah orang-orang yang memiliki jasa dan kontribusinya masing-masing dalam rumah tangga. Tidak ada yang berat sebelah, semuanya dijalani bersama-sama. Bagaimana kau mencintai suamimu dengan sepenuh hati di saat tahun-tahun pertama pernikahan kalian, maka tetaplah seperti itu. Jangan pernah berubah. Boleh berubah jika cinta dan kasih sayang itu malah semakin bertambah-tambah. Jagalah pasangan kita untuk bisa hidup bahagia bersama kita selamanya. 

Jika suamimu tidak main perempuan, pemabuk, berjudi, memakai narkoba atau bahkan KDRT, dan tidak pernah melakukan tindak kriminal, maka dia adalah suami yang baik. Apalagi jika dia sangat bertanggung jawab atas dirimu dan anak-anak kalian, mengusahakan kebahagiaanmu di atas kebahagiannya itu adalah suami yang paling baik yang pernah Tuhan kirimkan untuk dirimu. Maka syukurilah, hargai dan sayangi dia selagi masih ada, buatlah dia panjang umur dengan adanya kehadiran kita dalam hidupnya. Jangan hilangkan dan lupakan jasa-jasa dan kebaikan-kebaikan yang pernah dia lakukan untuk kita dan keluarganya. 

Karena suami adalah orang yang akan selalu ada untuk kita. Orang yang selalu bersama dengan kita, orang yang akan menjaga dan merawat kita di sisa-sia umur kita. Orangtua dan saudara-saudara kandung kita akan sibuk dengan kehidupan rumah tangganya masing-masing, begitu pula anak-anak dan cucu-cucu kita, ketika mereka dewasa dan siap untuk menikah maka mereka juga akan memiliki kehidupan rumah tangganya sendiri. Jadi, siapa lagi orang yang akan bersama kita jika bukan suami kita? Habiskanlah dan nikmatilah sisa-sisa umur kita dengan saling mencintai dan menyayangi satu sama lain. Jadilah orang bijaksana dan tahu berterima kasih agar panjang umur dan berbahagia. 



Salam kasih sayang,

Elma Saskya a.k.a E. Sasaki πŸ’š


Comments

Popular posts from this blog

LOLI'S WRITING ✍

  "Loli's Writing" By: Elma Saskia, S.Pd Loli was so excited today because her cousin, Aleyssan, came to visit their new house with her parents. They were currently playing in Loli's room. "Loli, I have a great gift for you. Want to see it?" Aleyssan asked. "Yes, I do! Where is it, Sis?" Loli exclaimed curiously. Aleyssan rummaged through her bag to find a small rectangular box tied with a ribbon in the middle and gave it to Loli. Loli, who was already very curious, immediately opened the box and her eyes sparkled brightly when she found 12 colorful pens inside. Excitedly, she got up from her seat and took a blank piece of paper, then her hand moved to write something on it using the pens. "Wow, the colors are so beautiful and they sparkle like jewels!" Loli praised happily. Aleyssan smiled upon hearing her, "Yes, they are very beautiful because besides being colored, the ink also contains glitter so it looks like sparkling silver. I...

🌏 Kya's World Ep. 1 ~ Koara si Raja Tidur πŸ¨πŸ’€

KOARA SI RAJA TIDUR πŸ¨πŸ’€ Oleh : Elma Saskya, S.Pd For the audio story, you may click this link below πŸ‘‡ 🎬  https://youtu.be/A2Sz2PGcjpc “Hm... Hm... Hm...” Nyanyian Mira dalam bentuk gumaman terdengar sepanjang jalan saat dia tengah menyusuri jalanan hutan yang banyak akan pohon-pohon rindang, dan rumput-rumput liar di sekelilingnya.  Koara yang tengah tertidur bergelayutan di atas pohon itu pun merasa terganggu akan nyanyian Mira dan mulai berteriak dari atas pohon.  “Mira?!! Kau mengganggu tidur siang ku saja. Hentikan gumaman tak jelas mu itu. Berisik tahu!!” Ungkapnya kesal.  “Astaga... Koara! Kau mengagetkanku saja. Ara ini bukan gumaman tapi aku sedang bernyanyi karena hatiku lagi gembira sekarang. Lagian kau ini pemalas sekali, sudah siang begini kok masih betah tidur...” Jawab Mira dari bawah pohon.  “Aku masih ngantuk. Aku baru saja tidur selama 18 jam lamanya. Tapi kau tiba-tiba datang dan menggangguku dengan suaramu itu...” Sahut Koara yang masih bet...

SAVE WATER πŸ’¦

  SAVE WATER By: Elma Saskya, S.Pd FLIP BOOK SAVE WATER On a hot afternoon, the two brothers were having fun playing marbles in their yard.  “Jojo, it's really hot today. It looks like playing in the water is better than here. How about we just play with water in the bathroom?” Invite Jeje to his little brother.  "Let's go in now; Jojo wants to, bro." The two of them went in and put their marbles in the tin jar they usually use.  *** "Wow, the water in our tubs and buckets is all full, Jo. It's going to be fun!" Jeje exclaimed happily and immediately poured water on his brother’s body repeatedly.  His younger brother also didn't want to give in. He went back to pouring water on his brother's body with enthusiasm. "Ha ha. My brother got all his clothes wet. You lost." Said his younger brother, laughing happily.  They went back to pouring water on each other, laughing together, until they realized that the water in the tubs and buckets th...